Kamis, 23 Juli 2009

Bali backpacking



This was in 2008.
We have no money.
We want Bali.
So what? :)



















Rabu, 15 Juli 2009

MetroMininya Pak Ilham



Kira – kira sudah 4 bulan lamanya gue ngga naik metromini. Ngga tau ada angin apa, siang hari sekitar pukul 2, sepulang dari supervisi kerjaan, gue memutuskan untuk kembali ke kantor sambil menikmati panasnya Jakarta hari itu.

Dari Sudirman gue naik Busway dari Halte Dukuh Atas. Ngga terlalu rame, dan kurang dari 10 menit gue berhasil duduk. Ada anak – anak SMA yang sedikit bau matahari. Ada Suster, ada bapak – bapak dan ibu – ibu, yah standarlah, ada mang – mang standar pula (emang ada mang – mang ga standar?). Ada 1 orang wanita seumuran gue, rambutnya cepak dan lumayan gaya, dengan jaket hitam dan boot hitam tanpa hak. Gue pun duduk sambil menahan pipis, karena lupa ke toilet sebelum pulang.

Sampai di terminal Blok M, gue pun nunggu Metro Mini nomer 72 jurusan Blok M – Lebak Bulus di jalur 4. Panasnya lumayan bikin pengen maki – maki. 5 menit kira – kira gue nunggu Metro Mini 72 di jalur 4 ditemani bis Mayasari Bakti 57 yang lagi ngetem, ekstra asap kelabu yang menyuburkan komedo gue. Akhirnya gue pun naik benda berwarna orens dan karatan itu. Sekejap memilih duduk di belakang supir karena paling males duduk di belakang kalo akhirnya jadi parno karena copet.

Kita sekarang ngebahas Metro Mini dan gue mencoba untuk mengajak berimajinasi sederhana. Walaupun kalau disuruh berimajinasi pasti bayangan kita pengen mukulin supir dan kondektur bis yang bikin emosi karena ugal – ugalannya. Dan, yap! Metro Mini 72 yang gue naikkin memang lagi susul – susulan sama Kopaja sebelah. Macet mulai bersahabat setelah tikungan ke arah Melawai. Barisan panjang kotak – kotak besar karatan berwarna hijau dan didominasi warna orens mulai memadati jalan. Asap kelabu mengepul, turut mewarnai ilustrasi warna – warni jalan Melawai siang itu.

Gambaran ini kayanya sudah ngga asing lagi di mata dan hidung kita, karena ini adalah gambaran kota Jakarta. Dan hidung gue mulai bereaksi nostalgia bersama kepulan asap yang sedang mesra - mesranya itu. Muka gue pun meronta – ronta minta dicuci segera.

Mungkin bagi Pak Ilham, (seseorang yang namanya bukan tak boleh disebut, melainkan emang gue ga berani nanya namaya, dan ga berani ngambil foto dia dari depan), yak, bagi Pak Ilham pemandangan ini sudah tak asing lagi sepertinya. Anda tau kenapa? Yeah, Karena dia adalah supir bisnya. He’s the man!

Dengan kulit keriput kira – kira berusia 6 dekade, Pak Ilham dengan tenang dan tanpa emosi, mengendalikan bus kesayangannya itu bak di Sirkuit Sentul. Seorang kondektur yang hitam legam dan kebetulan berbaju warna orens juga, dengan lihai membantu Pak Ilham. Ia dengan fasih mengatur Pak Ilham yang menyetir mblesak – mblesek kesana kemari dengan badan bis yang ngga kecil itu.

Dengan santai Pak Ilham menyetir sambil menghisap rokok yang dibeli ketengan dari jendela, (masih sempet, loh!). Seketika menengok ke belakang dan menghardik pelan ke tukang kacang yang masuk metro mini sambil menawarkan jajanannya. Dengan cepat merobek plastik kacang dan dimakannya langsung tanpa bayar. Karena bayarnya lewat kondektur. Jangan mikir Pak Ilham jahat yaa…

Pak Ilham inilah yang membuat gue berimajinasi dan merogoh handphone, lalu dengan diam – diam mengambil gambar Pak Ilham dari belakang.

Kalo gue Basquiat, mungkin gue melukis Pak Ilham dengan warna – warna, orens pastinya, hitam, coklat tua, hijau tua, sedikit kuning, bercampur dan berirama kencang campur aduk. Sedangkan kalau hidup gue, ingin dilukis dengan warna - warna seperti; biru muda, ungu, kuning, merah muda, hijau terang, putih, dan warna – warna pelangi.

Ga terasa, 45 menit kira – kira perjalanan gue sambil ngegosipin Pak Ilham di belakangnya sudah berakhir. Lama juga yah. Kayanya gue musti berdiri dan siap – siap untuk mengetuk langit – langit si Metro Mini. Turunlah gue dengan kaki kiri duluan, standar stiker – stiker yang nempel di pintu bis kota yang bertuliskan, “Dahulukan kaki kiri. Bayarlah dengan uang pas”. Kembali ke kantor, ngadem dan cuci muka.

Sampai jumpa Pak Ilham, sampai bertemu di lain kesempatan…:)

Senin, 13 Juli 2009

"Do What You Love. Love What You Do."

Tulisannya cukup panjang. Dan dari judulnya tampak serius. Iya ngga? Hehe.. Tapi sebenernya ngga lebih dari percakapan yang dilakukan berawal dari gue yang pengen curhat tentang pekerjaan.


Karena ngga tau siapa lagi yang mau dicurhatin, dan sang pacar juga sudah terlalu lelah untuk pembicaraan tingkat berat di hari Jumat. Terutama karena pulang tengah malam. Pilihan pun jatuh pada teman lama yang berada di luar Jakarta, dan tengah online di salah satu list ym gue, tengah malam ini.

Kembali soal pekerjaan, berapa sih sebenarnya presentase orang yang berfikir bahwa menjadi karyawan itu menyenangkan? Sayangnya memang tidak ada data valid. (Tampak mulai serius pembicaraan, tapi tenang aja, ga bakal ada namanya angka – angka presentase, karena memang gue tidak menemukan sumbernya). Tapi menurut hemat gue, seenak – enaknya kantor, tetep aja paling enak kalo punya usaha sendiri. (Ya iyalahh…). Sebenarnya berada di pekerjaan ini juga salah satu impian saya sejak kuliah. Tetapi entah kenapa kerjaan yang saya impikan dari dahulu ini, ternyata tidak memberikan kepuasan batin sepenuhnya. Naif. Tapi nyata.

Kalo dari pembicaraan gue dengan teman curhat online dadakan itu, pekerjaan ini seperti pacar. Anggap saja, ada cowo yang ditaksir sudah lama sekali, bahkan kayaknya ko ga mungkin untuk dijadiin pacar. Tapi ternyata waktu berlalu, dan setelah dengan segala perjuangan dan takdir, akhirnya cowo itu jadian juga sama gue. Eh, tapi pas udah jadian, hubungan pada awalnya memang berjalan seru dan penuh gejolak cinta. Tapi kayanya ada sesuatu yang beda, dan ternyata bukan dia yang gue cari. Nah lo, gimana dong?


Perumpamaan yang lain, masih berhubungan dengan pacar dan cinta ;p. Gue memang punya pekerjaan, yang diumpamakan dengan pacar. Tetapi ternyata ada orang lain di hati gue, a.k.a selingkuhan dong? Sebenernya ‘selingkuh’ itu ga salah 100% ko. Malah ‘selingkuhan’ itu suka bikin penasaran dan bertanya - tanya. Apa sebenernya dia yah, yang ditakdirkan Tuhan selama ini?


‘Selingkuhan’ itu sebenarnya belum tau perasaan gue yang sebenarnya, bahwa saya udah suka dari dulu dan punya niat pacaran sama dia. (Belum selingkuh dong ya berarti?) Cuma gue belum tau caranya buat nembak. Dan gue takut, kalo duluan nembak diterima ngga yah? Kalo diterima, kita bisa jalan bareng ngga yah? Kalo ternyata gue udah nembak, diterima dan ternyata ga cocok, apa pacar gue, mau nerima untuk balik sama dia ga yah?
Kebayang kan maksud perumpamaan saya? Yak, orang bilang memang gue kebanyakan mikir.

*ketawan ribetnya deh:p

At the end, kita kayanya ga akan pernah puas, (bagi mereka yang emang ngerasa gitu, bagi yang udah ya, alhamdulilah dan puji Tuhan..). Ga pernah puas dengan segala yang kita miliki. Kalo memang kita punya mimpi, dan hal yang memang kita suka banget, fight for it!

"Find a way to fight for it, or if there is no way, make one then."

Kalau kita memang masih dalam proses pencarian, Do What You Love and Love What You Do. Coba terus untuk melakukan hal – hal yang emang kita suka, kalo emang udah mentok, yah jangan maruk. Cobalah untuk mencintai hal – hal yang selama ini kita lakukan. Pembicaraan seperti ini suka susah berhenti, dan ngga akan pernah ada habisnya.

Kalo kata NIKE, “Just Do It.”